Berkah tak
terduga
Jum’at pagi tanggal 18 Januari 2019 aku pergi ke sekolah
seperti biasanya. Sekolahku berada di pinggiran kota Majalengka tepatnya di
Kertajati. Sudah sepuluh tahun aku bertugas di SMPN 1 Kertajati. Lingkungan
alam dengan hamparan sawah sepanjang mata memandang membuatku bersemangat
menyambut pagi. Sekitar 15 menit perjalanan dari rumah sampailah ke sekolah. Di
depan pintu gerbang aku bersama pengurus OSIS dan beberapa guru lainnya
menyambut anak-anak yang mulai berdatangan dari berbagai pelosok desa. Ah... alangkah
menyenangkan setiap kali menatap mata anak-anak yang bersemangat datang ke
sekolah setiap harinya. Tepat jam 07.00 pagi bel berbunyi dan semua siswa masuk
ke kelas masing-masing.
Aku segera beranjak dari gerbang sekolah menuju ruang
Bimbingan dan Konseling. Ternyata sudah menunggu orang tua yang sengaja datang
untuk menemuiku. Tiba-tiba dia menyodorkan kantong keresek hitam dan
memberikannya padaku. Katanya dia abis panen mangga di depan rumahnya dan ingin
memberiku mangga. Sungguh sangat terharu apalagi setelah dia cerita anaknya
sekarang mau sekolah lagi. Katanya berkat bantuan ibu anaknya bersemangat lagi
untuk sekolah. Alhamdulillah... aku mengajaknya bersyukur karena berkat
Allah-lah yang telah memberikan hidayah kepada anaknya tersebut. Setelah
berbicara tentang perkembangan anaknya di sekolah orang tua itu kemudian pamit.
Tiba-tiba Hp-ku berbunyi...Ketika kutengok ternyata dari
Mbak Donna. Mbak Donna itu teman suamiku yang bekerja di PPPPTK Penjas BK yang
beralamat di Parung Bogor. Ada apa ya mbak Donna menghubungiku? Sejurus
kemudian aku hubungi mbak Donna via WA. Mbak Donna memberitahuku tentang
program pengiriman 1000 pendidik ke luar negeri dan menawariku untuk ikut. Aku
tertawa dan tak percaya ditawari demikian. Mbak Donna kemudian memberitahukan
beberapa kriteria diantaranya : pendidikan minimal S-1 namun S-2 lebih diprioritaskan, telah menjadi
Instruktur Nasional atau Narasumber Nasional, usia tidak lebih dari 50 tahun,
berprestasi, aktif dalam organisasi profesi atau MGBK, memiliki kemampuan
bahasa Inggris minimal pasif, bukti sekolah terpilih sebagai sekolah model atau
sekolah rujukan dan harus ada persetujuan suami. Hmm... dari semua persyaratan
tersebut rasanya aku memenuhi semuanya. Alhamdulillah aku sudah menyelesaikan
S-2 sejak tahun 2010. Kemudian sejak tahun 2004 telah menjadi Instruktur
Nasional dan menjadi Narasumber Nasional sejak tahun 2016. Pada tahun 2010
pernah terpilih sebagai salah satu guru SMP berprestasi tingkat kabupaten
Majalengka. Kalau dilihat dari usia masih dibawah 50 tahun. Untuk keaktifan di
organisasi sudah menjadi ketua MGBK SMP Kab. Majalengka sejak tahun 2016 sampai
sekarang. Adapun syarat sekolah tempat bertugas menjadi sekolah model
alhamdulillah sekolahku telah menjadi sekolah model sejak tahun 2017 dan pernah
menjadi juara 1 tingkat kab. Majalengka yang kemudian mewakili ke tingkat jawa
barat pada bulan November 2017. Pada tahun 2018 sekolahku terpilih sebagai
sekolah rujukan sampai saat ini. Dari semua kriteria itu semua persyaratan
sudah lengkap kecuali ijin dari suami. Oh ya aku belum berani mengiyakan ikut
program tersebut karena belum berbicara dengan suami.
Sebenarnya aneh juga suamiku tidak pernah memberitahukan
adanya program pengiriman guru ini. Padahal jika ada informasi terbaru tentang
ke-BK-an dia suka ngasih tau atau kalau tidak aku yang aktif bertanya jika
suami ada kegiatan tentang Bimbingan dan Konseling (BK). Aku bersyukur kami di
bidang keilmuan yang sama sehingga kami sering berdiskusi tentang BK.
Keesokan harinya suamiku mengantarku ke sekolah dan
sepanjang jalan aku mendapat kesempatan untuk berbicara....
Aku : “Yah, ma
dengar ada informasi pengiriman guru keluar negeri, ya?”
Suami : “Lho, ma tahu dari mana?”
Aku : “Ma kemarin
dihubungi mbak Donna”
Suami : (tertawa)
Aku : “Kok ayah
gak ngasih tahu ma sih?”
Suami : “Hmm... maaf sebelumnya ayah
gak ngasih tahu... Walaupun ayah tahu ma memenuhi semua kriteria tapi ayah gak
mau ada pandangan dari orang lain kalau ma masuk karena ayah. Nanti disangka
KKN lagi... Makanya ayah diam-diam saja. Padahal sudah ada beberapa guru BK
yang kami seleksi juga. Ayah menduga mungkin usulan dari pak Zaenudin untuk
mengundang ma. Gimana apa ma berminat?”
Aku : “Entahlah... ma mikir anak-anak gimana
kalo ditinggalkan”
Suami : “Kalau ma minat dan lolos silakan saja ambil
kesempatan”
Ya Alloh... terharu mendengar suamiku berkata begitu...
Ditengah kegalauan dan dilema suamiku memberikan solusi yang menyejukkan...
Namun, ada tahapan lain yang harus kulakukan... Meminta ijin
dari ibuku... ya neneknya anak-anak. Beliau orang penting lainnya yang perlu
dimintai pertimbangan. Selama ini beliaulah yang menyambut anak-anak pulang ke
rumah ketika aku masih berada di sekolah. Di rumah peninggalan almarhum bapak,
ibu tinggal bersamaku dan ketiga anakku. Suamiku bekerja di Bogor dan menempati
rumah kami disana sendirian. Kalau liburan baru kami bisa berkumpul. Kenapa
kami gak pindah Bogor dan berkumpul layaknya sebuah keluarga dengan suamiku?
Sebenarnya sempat berniat untuk pindah bahkan sudah nyari-nyari info sekolah
juga. Namun setelah dipikir-pikir lagi kalau pindah kami juga sering ditinggal-tinggal sebab sebagai
widyaiswara suamiku banyak bekerja di luar kota juga luar pulau Jawa. Bahkan
dulu kami juga pernah ditinggal tugas selama 2 tahun ke Malaysia. Nah, kalau
sering ditinggal begitu apa bedanya dengan kami tinggal di Majalengka? Padahal
kalau di Majalengka kami bisa menemani ibu. Sebenarnya ibu pernah diajak tinggal di Bogor namun ibu menolak karena
beliau tidak mau meninggalkan rumah yang penuh kenangan dengan bapak.
Ibuku tinggal sebatang kara setelah ditinggal bapak 12 tahun
yang lalu. Aku tidak tega meninggalkan ibu yang sangat tergantung padaku.
Bahkan untuk urusan ambil uang pensiunan saja ke bank ibu tidak berani pergi
sendiri. Sebelum tinggal dengan ibu,
kami pernah tinggal di rumah sendiri. Rumahnya terletak di desa Liang julang.
Namun anakku ternyata lebih betah tinggal dengan neneknya karena teman-temannya
banyak di sekitar rumah nenek. Sedangkan di dekat rumahku sedikit anak-anak
kecilnya. Akhirnya karena rumah sering ditinggalkan maka kuputuskan untuk
dikontrakkan saja.
Sore itu, kulihat ibuku sedang santai menonton sinetron di
televisi. Aku dekati dan coba membuka pembicaraan....
Aku :
“Enin, kalau teteh ditawari untuk belajar lagi kira-kira enin
mengijinkan gak?”
Enin : (mengalihkan
pandangan kemudian menatapku) “Kemana?”
Aku : ” Australia
Enin : “Hah... jauh banget!!! “(suaranya
meninggi lalu terdiam sesaat). Enin gak sanggup ngurus anak-anak sendirian! Apalagi enin
sudah tua....”
Ibuku keberatan dan aku memutuskan untuk tidak meneruskan
pembicaraan kami. Jawaban ibu sudah cukup bagiku untuk memutuskan tidak akan
ikut program tersebut. Aku berusaha untuk melupakan dan tetap beraktivitas
seperti biasa.
Keesokan harinya ibu memanggilku ke kamarnya. Beliau
menggenggam tanganku dan bertanya “ Apakah teteh sungguh-sungguh mau ke
Australia?” Aku bingung untuk menjawab karena jika aku iyakan khawatir akan
merepotkan beliau. Jadi aku hanya termangu dan tertunduk... Beliau mengangkat
wajahku dan berkata, “Pergilah! Enin ijinkan...”. Alhamdulillah ya Alloh... Ini
berkah yang tak terduga karena suami dan ibuku telah memberiku ijin untuk
pergi... Aku menangis bahagia bercampur sedih karena akan meninggalkan keluarga
yang sangat kucintai...
Setelah mendapat restu segera aku mengumpulkan semua berkas
persyaratan dan mengirimkannya via email dan WA ke mbak Donna. Seminggu
kemudian HP-ku berbunyi pas ketika aku mau turun dari angkot di depan kantor
pos. Segera ku angkat HP dan melihat siapa yang menelpon. Ternyata Bu Eni yang
menelpon. Beliau widyaiswara PPPPTK Penjas BK. Setelah mengucapkan salam bu Eni
mengajakku berbicara bahasa Inggris. Aku harus memperkenalkan diri.
Alhamdulillah lancar karena tugasnya tidak terlalu berat hehe... kemudian aku diminta untuk membuat essay juga
dan harus segera dikumpulkan dalam waktu 1 jam. Tugas itu segera kukerjakan semaksimal
mungkin.
Persiapan lainnya adalah mengurus paspor ke imigrasi. Kantor
imigrasinya berada di Cirebon. Jadi butuh waktu sekitar 1,5 jam di perjalanan
sehingga kalau pulang sekolah sekitar jam 14.15 sudah pasti tidak kan keburu
waktunya karena kantor tutup jam 16.00. Oleh karena itu aku ijin kepada kepala
sekolah sekaligus memberitahukan kalau aku mau ikut short course ke Aussie. Alhamdulillah beliau sangat mendukung
sehingga aku bisa pergi ke Cirebon jam 10.00. Urusan di imigrasi ternyata
diberikan kemudahan dan kelancaran dan dalam jangka waktu seminggu paspor sudah
ditangan.
Seminggu jelang keberangkatan aku
mendapat undangan untuk mengikuti seleksi calon kepala sekolah (cakep). Dalam
surat edaran dari kepala diknas para cakep wajib mengikuti upacara pembukaan
pada tanggal 25 Februari dan sudah dibagi jadwal seleksi untuk TK/SD pada
tanggal 25-26 Februari sedangkan jadwal untuk SMP tanggal 27-28 Februari.
Aaah... kenapa jadwalnya bentrok dengan jadwal keberangkatanku ke Parung???
Benar-benar dilema. Aku konsultasikan masalahku dengan mbak Donna dan Bu Devi
dari PPPPTK Penjas BK. Beliau juga bingung karena pas jadwal seleksi cakep
seharusnya aku sudah berada disana. Apalagi menurut informasi awal kami akan
diundang oleh presiden ke istana negara sehingga wajib hadir. Aku hanya bisa
istirjak dan melakukan sholat istikhoroh untuk meminta petunjuk dan ketetapan
hati dalam memilih. Pilihannya hanya satu mengikuti seleksi cakep atau pergi ke
Aussie. Aku pasrah apa pun keputusan Alloh karena itu pasti yang terbaik
untukku. Berbekal ridha dari suami dan orang tua kuyakin Alloh juga ridha.
Bukankah ada hadist dari Abdullah bin’Amru radhiyallahu’anhu yang menyatakan
bahwa Rasulullah SAW bersabda “Ridha
Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka
orang tua” (Hasan at Tirmidzi : 1899, HR al Hakim : 7249, ath-Thabrani
dalam al-Mu’jam al Kabiir : 14368, al-Bazzaar : 2394). Dalam sebuah hadist
Rasulullah SAW bersabda,”Wanita mana saja yang meninggal dunia,
kemudian suaminya merasa ridha terhadapnya, maka ia akan masuk surga” (HR
Ibnu Majah dan dihasankan oleh Imam Tirmidzi). Dalam hadist yang lain dari Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasululla SAW bersabda, “Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima waktu, melaksanakan shaum
pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk
surga dari pintu mana saja ia kehendaki” (HR Ibnu Hibban dalam shahihnya).
Alhamdulillah atas keridhaan orang tua dan suami ternyata Allah memberiku
berkah yang tak terduga yaitu bisa mengikuti kedua-duanya. Kok bisa??? Tentu sangat bisa jika Allah
memberiku kemudahan. Ya, setelah aku berkonsultasi dengan diknas dan BKPSDM
maka aku tetap bisa mengikuti seleksi cakep namun waktunya dimajukan. Seharusnya
sesuai jadwal seleksi untuk SMP pada tanggal 27-28 Februari namun aku bisa
mengikuti pada tanggal 25-26 Februari bersama guru-guru TK dan SD. Walaupun
konsekuensinya aku mengikuti sendirian. Alhamdulillah setelah mengikuti seleksi
tulis pada tanggal 25 Februari dan wawancara keesokan harinya akhirnya selesai
juga seleksi cakep pada jam 08.15.
Pada jam 10.00 pagi travel menjemput dan membawaku ke
Parung. Selama 6 hari kami mengikuti kegiatan pre departure yang bertujuan
memberikan pembekalan sebelum kami berangkat. Beragam materi disampaikan
seperti : kebijakan pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
bidang penjas dan BK, bedah panduan program, budaya belajar di Australia,
penguatan nasionalisme kebangsaan, HOTs dan 4Cs pada BK, Solution Focused Brief Therapy, kerjasama luar negeri kemdikbud,
disain adminintrasi program. Akhirnya pada tanggal 3 Maret 2019 ditutup dengan
materi pelepasan pelatihan PTK ke luar negeri oleh kepala PPPPTK Penjas dan BK
bapak Dr.H.Yaswardi, M.Si.
Setelah
dilepas oleh pak Kapus, kami secara berombongan menaiki bus yang akan
mengantarkan kami ke bandara Soekarno Hatta. Pesawat Garuda membawa kami
terbang sekitar 1 jam 20 menit menuju
bandara Changi Singapura untuk transit. Malam harinya sekitar jam 8 malam waktu
Singapura kami terbang bersama Qantas menuju Brisbane Australia. Sekitar 7 jam
perjalanan akhirnya kami tiba di bandara Brisbane.... Saat ku jejakkan kakiku
di bandara Brisbane... batinku berteriak, “ Aussie, aku datang....!” Aku gak
berani berteriak keras-keras karena khawatir mengganggu ketertiban umum
hehe....
Aussie, Aku
datang...
Rindu
keluarga
Hal yang kurasakan paling berat adalah ketika menahan rindu
yang mendera menyesakkan dada. Setiap saat terbayang-bayang selalu wajah
orang-orang tercinta di rumah. Duuuh... rindu itu emang berat seperti kata
Dylan hehe... Paling lama kegiatan yang pernah aku ikuti selama 10 hari
sedangkan sekarang selama sebulan. Mana tahaan... tapi memang harus ku tahan.
Alhamdulillah berkat adanya video call kerinduanku pada keluarga setidaknya
bisa terobati. Setiap hari kami berkomunikasi baik pagi, siang maupun malam seperti
aturan minum obat saja. Tapi memang rindu itu harus terobati apalagi bagi si
bungsu Azka yang tiap hari selalu menangis dan menyuruhku pulang hehe...
Alhamdulillah aku bisa memantau juga persiapan belajar anakku Edgar menghadapi
PTS. Sedangkan si sulung Agung saat itu sibuk dengan ujian prakteknya. Suamiku
menggantikan tugasku membimbing belajar anak-anak. Rasanya bahagia dan lengkap
hidupku bersama mereka. Alhamdulillah....
Pelajaran
hidup
Selama 3 minggu tinggal di Aussie
aku mendapatkan pengalaman yang luar biasa dan menjadi pelajaran hidup yang
sangat berharga. Aku sangat bersyukur kepada Allah SWT atas kesempatan yang
telah diberikan-Nya. Pengalaman berinteraksi dengan orang dari latar belakang
berbeda dan merasakan budaya lain sampai belajar bahasa asing menjadi tantangan
tersendiri.
•
Allah SWT
Adalah Sumber Kekuatan
Ketika kita jauh dari keluarga dan
komunitas kita, selalu muncul perasaan terasing sehingga kita merasakan
kesendirian. Disaat itu aku sadar bahwa menggantungkan diri kepada Allah SWT
menjadi sumber kekuatan satu-satunya ketika kita tidak bisa berharap pada
manusia. Segala keluh kesah dan rangkaian doa sering kupanjatkan pada-Nya
sehingga aku merasakan ketenangan menghadapi hari-hari disana. Alhamdulillah
berkat ridha-Nya ketika disana aku mendapat kabar ternyata aku dinyatakan lulus
seleksi cakep dan tinggal menunggu panggilan untuk diklat saja. Semua yang
terjadi padaku membuatku semakin yakin akan kekuasaan Allah sebab jika tidak
ada campur tangan-Nya mustahil aku mendapatkan karunia yang begitu besar. Allah
SWT adalah sumber kekuatanku.
•
Belajar
mandiri
Hidup sendirian jauh dari keluarga tidak semenakutkan yang
dibayangkan. Aku belajar mandiri untuk bisa mengandalkan diri sendiri dari
mulai membuat rencana kegiatan sampai mengambil keputusan. Untuk urusan
pekerjaan rumah bagiku bukan sesuatu yang memberatkan sebab hal itu merupakan
pekerjaan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.
•
Seni
berinteraksi
Selama di Aussie aku tinggal di sebuah apartemen yang
bernama Oaks iStay River City yang beralamat di 79 Albert Street, Brisbane.
Lokasinya di tengah kota Brisbane. Di depan apartemen orang-orang yang berbeda
kulit, suku, bangsa, dan agama berlalu lalang sejak pagi sampai malam. Aku
senang memperhatikan mereka ketika duduk di bangku pinggir jalan. Tak jarang
kami berinteraksi dengan penghuni apartemen dari negara lain ketika sama-sama
menunggu moda transportasi yang akan membawa kami ke tujuan yang berbeda.
Kesempatan bertemu dengan orang dari berbagai latar belakang budaya termasuk
rekan-rekanku sesama peserta yang berasal dari berbagai pelosok nusantara
membuatku menjadi pribadi yang lebih terbuka dan tidak lagi melihat sesuatu
dari sudut pandang hitam-putih. Aku menjadi lebih toleran terhadap perbedaan
sebab menurutku keputusan atau tindakan orang lain adalah urusan mereka yang
tidak sepantasnya dikomentari.
•
Disiplin
tinggi
Satu lagi pelajaran yang membuatku terkesan. Orang Australia
memiliki disiplin yang tinggi. Mereka sangat menghargai waktu sehingga setiap
agenda harus tepat waktu. Budaya antri
mereka terapkan. Oleh karena itu, kehidupan masyarakatnya lebih teratur. Untuk
urusan nyebrang jalan saja kita tidak boleh di sembarang tempat. Harus di zebra
cross. Tidak heran dengan disiplin yang tinggi negara mereka lebih maju
•
Keramahan
kunci kenyamanan
Saat menjejakan kaki pertama kali di bandara Brisbane tanggal
4 Maret 2019 kami disambut oleh Kim Woodward dan Sheilla. Saat itu aku dibuat
terpana oleh kedua sosok tersebut. Kim, dengan senyumnya yang renyah dan bisa
tertawa lepas sampai ngakak merupakan sosok yang energik walaupun beliau sudah
memasuki usia senja. Aku gak berani nanya usianya karena khawatir tersinggung
hehe... Namun yang jelas dia sudah menjadi seorang nenek. Satu lagi Sheilla
dengan bantuan penopang kaki karena terjatuh dia tampak tegar dengan
kondisinya. Baginya pantang dikasihani dengan kondisinya tersebut. Dia tetap
menjalankan tugasnya menyambut kami walaupun jalannya terpincang-pincang.
Keramahan mereka menyambut kami membuat kami merasa nyaman dan dekat sehingga
membantu kami untuk bisa beradaptasi dengan cepat.
Keramahan juga ditunjukkan oleh David sopir yang disewa
travel ataupun Nathan sopir universitas Queensland. Mereka selalu menyambut
kami dengan ucapan “Good morning” ketika kami masuk bus dan “have a nice day”
saat kami keluar bus. Hal itu dilakukan pula oleh sopir bus translink. Mereka
sangat ramah menyambut kami. Setiap penumpang disapanya. Aaah... seandainya
semua sopir bus di Indonesia melakukan hal yang sama. Tentu penumpang akan
merasa nyaman dan senang.
•
Toleran
terhadap keragaman
Seperti halnya Indonesia, Australia ternyata memiliki
perbedaan budaya yang cukup besar. Berdasarkan hasil sensus penduduk di
Australia pada tahun 2016, hampir setengah dari penduduk Australia (49%) tidak
dilahirkan di Australia atau setidaknya salah satu dari orang tuanya tidak
dilahirkan di Australia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ragam budaya yang
berbeda sangat besar dan tentunya rawan potensi intoleransi. Akan tetapi, yang
menarik adalah, pada saat kami di sana terjadi penembakan di sebuah mesjid yang
terletak di Christchurch Selandia Baru. Pelakunya warga negara Australia.
Sebagai satu bentuk toleransi warga Australia terhadap muslim pasca penembakan
maka di kampus Universitas Queensland mengibarkan bendera setengah tiang
kemudian di Holland Park tepatnya di Mesjid Brisbane diletakkan berbagai buket
bunga dan orang Australia menyampaikan ungkapan duka cita serta memeluk kaum
muslim yang berada disana sebagai bentuk duka cita. Sungguh pemandangan yang
mengharukan. Mereka sangat ramah dan
toleran terhadap keberagaman.
•
Gaya hidup
sehat
Aku melihat warga Australia banyak yang berjalan kaki di
berbagai tempat. Mereka juga senang melakukan aktivitas olahraga seperti : naik
sepeda dan sepatu roda. Justru sulit menemukan orang naik motor. Mereka lebih
senang naik mobil pribadi, bus, ataupun trem/ KA. Kami juga terbiasa berjalan
kaki ketika berangkat ke kampus ataupun pulangnya menuju halte bus atau boat
yang akan membawa kami pulang ke apartemen. Awalnya berat dan capek. Tapi
lama-kelamaan jadi terbiasa juga walaupun keringat bercucuran. Alhamdulillah
walaupun capek berjalan namun kami sehat. Benarlah kata pepatah “Walking is the
best medicine”.
•
Pentingnya
belajar bahasa
Kesempatan pergi keluar negeri membuatku tertantang untuk
belajar lagi bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Dengan menguasai
bahasa setempat hidup kita di rantau terasa lebih mudah. Kita akan mudah
berkomunikasi sehingga banyak hal penting yang bisa kita pelajari lebih banyak
lagi. Dengan belajar bahasa mereka berarti
kita juga menghargai budayanya.
•
Bertambah
teman
Hidup bersama rekan-rekan seperjuangan dari berbagai pelosok
negeri dengan latar belakang yang berbeda dari sifat, karakter dan kebiasaan
menjadi tantangan tersendiri untuk bisa saling memahami. Adanya masalah yang
muncul akibat sensitivitas terhadap ucapan, sikap, dan perilaku teman membuat
kami saling belajar untuk lebih toleran dan saling memaafkan. Hal inilah yang
menjadi bonding bagi kami seperti layaknya sebuah keluarga. Alhamdulillah
sepulang dari Aussie teman-temanku bertambah banyak.
•
Nasionalisme
bertambah
Sejauh-jauhnya burung terbang akan kembali ke sarang.
Ungkapan itu tepat sekali menggambarkan keadaanku. Walaupun di Aussie
kondisinya serba lebih nyaman dengan jalan dan sistem transportasi yang tertib
dan teratur, sistem pendidikan dan kondisi ekonomi lebih maju namun tidak
membuatku betah berlama-lama. Aku kangen keluarga, tetangga, murid-muridku,
kolegaku, dan masyarakat Indonesia yang terkenal ramah. Aku juga kangen cita
rasa masakan Indonesia yang kaya bumbu dan rempah-rempah. Aku kangen semuanya.
Hidup di negeri orang membuatku makin cinta terhadap Indonesia